Putusan MK Porak-porandakan Skenario Si Raja Jawa

Oleh: Shobri, M.E.I (Praktisi Pendidikan)

Kab. Bogor, Awdialiansi.com – Dua Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait peraturan pilkada telah mengejutkan dunia politik negeri gemah ripah loh jenawe, Indonesia.

Pertama, MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.

Kedua, Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak gugatan pengubahan penentuan syarat usia minimum dalam Undang-Undang Pilkada. Ketetapan itu dituangkan dalam putusan nomor 70/PUU-XXII/2024. Menurut MK, aturan dalam Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada tidak perlu ada penambahan makna apapun.

Adapun Pasal 7 ayat 2 huruf e mengatur tentang syarat usia untuk pencalonan gubernur, wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota. Bunyi huruf e dalam pasal tersebut adalah:

“Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”.

Keputusan ini memporak-porandakan sknario Raja Jawa (Jokowi) yang berambisi mengangkangi panggung politik indonesia, antara lain:

Pertama, skenario raja Jawa untuk mendominasi partai-partai besar dan meloloskan putranya, Kaesang Pangarep, sebagai calon gubernur atau wakil gubernur, berantakan akibat keputusan Mahkamah Konstitusi ini.

Raja Jawa gagal meloloskan Anaknya karena sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan usia minimal 30 tahun pada saat pelantikan, namun MK memutuskan bahwa usia tersebut harus dipenuhi saat pendaftaran. Putusan ini otomatis menggagalkan pencalonan Kaesang, yang belum mencapai usia 30 tahun, langkahnya menuju gelanggang politik di tingkat provinsi terhenti dan menjadi mimpi belaka.

Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60 membuka peluang besar bagi Anies Baswedan untuk maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta, yang selama terus menerus dijegal oleh si raja Jawa sejak Anies menjadi Gubernur DKI.

Hal ini terjadi setelah MK melonggarkan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah, yang memberikan PDIP keleluasaan untuk mengajukan calon gubernurnya sendiri. Meski demikian, keberhasilan Anies untuk maju tetap bergantung pada strategi dan keputusan PDIP sebagai partai besar yang berpengaruh.

Putusan MK tersebut berbuah berkah bagi PDIP dimana saat ini hanya partai Megawati itu yang masih tak tergoyahkan bergabung ke KIM racikan si raja Jawa. Berkahnya putusan itu membuat PDIP memiliki posisi tawar yang tinggi yakni dapat memilih untuk mencalonkan Anies atau kandidat lainnya, sesuai dengan kepentingan strategis partai.

PDIP saat ini menjadi “game changer” dalam peta politik Indonesia. PDIP mendapat peluang baru untuk merumuskan strategi politik yang lebih fleksibel dan berorientasi pada kemenangan khususnya di Pilgub paling seksi yakni Pilgub Jakarta.

Di sisi lain Putusan MK ini tidak hanya mengubah dinamika Pilgub Jakarta, tetapi juga membuat skenario politik raja Jawa berantakan.

Si Raja Jawa yang selama ini dianggap memiliki kendali kuat atas koalisi partai-partai besar, kini harus menghadapi kenyataan bahwa strategi politiknya bisa dibatalkan oleh keputusan hukum. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi siapapun penguasa yang senang mengotak atik hukum sesuai seleranya, bahwa dalam politik, tidak ada yang pasti, dan setiap rencana yang tampak sempurna pun bisa runtuh oleh kekuatan hukum dan rasionalitas publik.

Putusan MK ini, juga ditenggarai akan menjadikan peta politik koalisi di berbagai daerah akan mengalami perubahan signifikan. Partai-partai dalam koalisi Jokowi sebaiknya melakukan “kocok ulang” agar terlepas dari cengkraman si raja jawa juga untuk menyesuaikan dengan dinamika baru.

Calon-calon kepala daerah yang sudah menyiapkan dana besar untuk maju, didukung oleh para oligarki lintah darat, kini harus mempertimbangkan kembali langkah mereka, karena aturan baru memungkinkan peluang baru bagi calon lain yang sebelumnya terpinggirkan akibat ulah permainan politik si raja jawa.

Meskipun demikian si Raja Jawa tidak menyerah. Ia menggunakan jongosnya DPR KIM Plus untuk mencoba mengakali putusan MK tersebut. Upaya para jongos melakukan rapat maraton untuk mengubah aturan pilkada diendus oleh para akademisi yang langsung memberikan worning dengan meluncurkan garuda biru sebagai simbol kedaruratan demokrasi Indonesia.

Seluruh elemen masyarakat turun kejalan menyuarakan berbagai keresahannya tentang ambang kematian demokrasi di bawah kekuasaan si Raja Jawa. Komplek DPR RI dikepung jutaan masa yang turun serentak mengutuk para jongos wakil rakyat yang mengatas namakan rakyat tapi menyalahi janjinya kepada rakyat yang mana meraka akan melakukan pengesahan undang-undang pilkada.

Karena tidak kuorum, akhirnya undang-undang pilkada perubahan yang penuh racun itu, batal disahkan. Meskipun banyak mahasiswa dan masyarakat menjadi tumbal perjuangan rakyat, namun keadilan berpihak pada rakyat.

Semoga menjadi pembelajaran bagi para potisi, agar dalam berpolitik senantiasa mengedepankan adab, keadilan dan kepentingan rakyat. ( Basirun )

Related posts
Tutup
Tutup